Mau kutambatkan dimana kapalku
jika tak ada dermaga, tempat merengkuh labuh
entah di bagian mana kotamu yang disebut dermaga
kenapa juga semula tampak lain, banyak tersusun batu
patung membisu, tabu terpancang, ataukah hanya menipu
sebab yang kudengar nafas begitu banyak rupa,
entah apa terlalau lama kapalku tak merapat, kotamu tak menerima tamu
atau perantau yang ingin mendedah hawamu sekedar melepas peluh .
Sehingga pancang tempat sauh
tercerabut dan sengaja dicabut
aku masih mencoba berlayar, menyisir angin darat sambil sesekali menebar risau
adakah gagap tentang kota masa lalu, apakah masih seramah dulu
halaman tak berpagar, senyum menyambut riang, air kendi pelepas dahaga, beranda terbuka, tikar pandan terdampar , jendela mengabar wangi teh seduh, air hangat mencuci telapak kaki.
Apakah masih berpagar?
Dulu tak ada maling
tak kalut
hanya berbungkus kelegaan tanpa risau
“masih ada tetangga, masih ada sapa segar jiwa”
hingga tak ada sisir angin, lalu menghentikan kapalku
tak kutemukan dermaga-maka aku tak singgah
mungkin nanti, jikalau dermaga menyapa, membuka lapang dan angin bertiup ke kotamu
aku pasti singgah
tapi entah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar